Senin, 08 Januari 2018

BAB 14 ANALISIS INVESTASI LANJUTAN : PENDEKATAN ADJUSTED PRESENT VALUE

BAB 14
ANALISIS INVESTASI LANJUTAN :
PENDEKATAN ADJUSTED PRESENT VALUE

1.         METODE ADJUSTED PRESENT VALUE (APV)
1.1     Kerangka APV
Variasi lain dari WACC (weighted average cost of capital, atau biaya modal rata-rata tertimbang) dalam analisis investasi adalah APV (Adujsted Present Value). APV menggunakan prinsip value additive (penambahan nilai), dengan mengambil ide dari model struktur modal Modigliani Miller (MM). Menurut MM dengan pajak, nilai perusahaan dengan hutang adalah nilai perusahaan 100% saham ditambah dengan penghematan pajak dari hutang (bunga bisa dipakai sebagai pengurang pajak). APV dengan demikian dihitung dengan menambahkan nilai base-case plus manfaat dari pinjaman (financing), seperti berikut ini :

APV = Base-case NPV + NPV dari keputusan pembelanjaan karena memutuskan melakukan proyek ……… (1)

Base case NPV dihitung melalui asumsi proyek dilakukan dengan menggunakan saham semuanya (100% saham). Sumber NPV dari keputusan pendanaan (financing decision) tidak hanya dari penghematan pajak, tetapi juga dari sumber lain, misal pinjaman yang disubsidi oleh pemerintah.

1.2     Peningkatan Kapasitas Pinjaman
Misalkan perusahaan ingin mempertahankan rasio hutang sebesar 40%. Dengan bertambahnya aset, maka hutang yang bisa dipinjam oleh perusahaan juga akan semakin meningkat (untuk mempertahankan rasio yang sama). Jika perusahaan melakukan usulan investasi, maka asetnya akan bertambah, dan karenanya kapasitas pinjaman juga akan bertambah. Apakah kapasitas pinjaman yang bertambah tersebut mempunyai nilai? Jika bunga yang dibayarkan bisa dipakai sebagai pengurang pajak, maka semakin besar bunga yang dibayarkan, akan semakin besar penghematan pajak yang diperoleh. Dengan kata lain, penambahan kapasitas hutang akan mendatangkan nilai bagi perusahaan.

2.         PERBANDINGAN APV DENGAN WACC
Secara teoritis, analisis investasi dengan metode APV dan WACC akan menghasilkan angka dan kesimpulan yang sama. Dengan menggunakan metode APV, dimana hanya penghematan pajak saja yang kita analisis (penghematan lainnya seperti subsidi pinjaman dianggap tidak ada).

2.1     Analisis dengan APV
Dengan menggunakan APV, maka kita akan menghitung formula berikut ini :

APV    = NPV 100% saham + PV penghematan pajak dari bunga
  = ( Kas / ks ) + ( Tingat pajak × Hutang )

2.2     Analisis dengan WACC
Jika kita menggunakan WACC, kita akan menghitung biaya modal rata-rata tertimbang. Pertama, kita harus menghitung biaya modal saham yang baru, yang mencerminkan tambahan hutang. Dengan menggunakan formula yang dikembangkan oleh MM seperti berikut ini, kita bisa menghitung ks yang baru :

Ks                   = ro + B / S (1 – tc) (ro – rb) ……….... (2)
Ks                   = 20% + (2 / 5) (1 – 0,4) (20% - 15%)
= 22

            WACC kemudian bisa dihitung sebagai berikat ini :

                        WACC           = (3 / 5) (22) + (2 / 5) (1 – 0,4) (15%)
                                                = 16,8 %

Net Present Value (NPV) dengan menggunakan WACC adalah :

NPV    = (Kas tersedia untuk pemegang saham / WACC) – Investasi
            = (12 jt / 0,168) – 50jt
            = 12jt

2.3     Perbandingan APV dengan WACC
Pembahasan di muka menunjukkan bahwa APV dan WACC secara teoritis menghasilkan kesimpulan yang sama. Keduanya juga menggunakan aliran kas yang tidak dipengaruhi oleh keputusan pendanaan. Keduanya berbeda sebagai berikut ini. Pada APV, NPV dasar (base) kemudian ditambahkan dengan PV manfaat dari keputusan pendanaan. Sedangkan pada WACC, pengaruh keputusan pendanaan terlihat pada tingkat diskonto (biaya modal rata-rata tertimbang). APV menghitung pengaruh keputusan pendanaan secara langsung. Sedangkan pada WACC pengaruh keputusan pendanaan dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui tingkat diskonto.
Pertanyaan berikutnya adalah dalam situasi apa WACC atau APV lebih baik dipakai. Berikut ini beberapa pedoman untuk menentukan mana yang sebaiknya dipakai, dan dalam situasi yang bagaimana.

1.    Jika risiko proyek konstan selama usia proyek tersebut, maka biaya modal saham dan biaya modal rata-rata tertimbang akan konstan selama proyek tersebut dilakukan. Dalam situasi tersebut, WACC cukup praktis digunakan. Dengan menggunakan APV, kita tidak perlu mengidentifikasi satu-persatu efek keputusan pendanaan. Jika risiko proyek berubah-ubah selama usia proyek tersebut, maka biaya modal juga akan berubah-ubah. Pada situasi ini menghitung efek keputusan pendanaan secara langsung, seperti yang dilakukan oleh APV akan lebih praktis.
2.    WACC berbicara mengenai rasio hutang, sedangkan APV berbicara mengenai tingkat (jumlah) hutang. Jika jumlah hutang bisa diprediksi dengan baik, maka APV cukup praktis digunakan. Jika tingkat (jumlah) hutang sulit diprediksi, maka penggunaan APV menjadi lebih sulit. Contoh, jika rasio hutang terhadap nilai perusahaan tetap, kemudian nilai perusahaan berubah-ubah, maka jumlah hutang juga akan berubah-ubah. Jumlah hutang menjadi lebih sulit dihitung Tetapi jika rasio hutang berubah-ubah, maka WACC menjadi sulit diaplikasikan.

3.         MENGHITUNG BETA UNLEVERED
3.1     Tanpa Pajak
Untuk menggunakan APV, kita membutuhkan biaya modal saham untuk perusahaan yang menggunakan 100% saham (ro). Dengan menggunakan formula CAPM, biaya modal saham 100%, bisa dihitung sebagai berikut ini :

ro = Rf + βU (Rm – Rf) ……… (3)

dimana βU adalah beta perusahaan dengan 100% saham. Tetapi, biasanya perusahaan menggunakan hutang sebagian. Jarang ada perusahaan yang menggunakan saham 100%. Formula CAPM untuk menghitung biaya modal saham perusahaan (yang biasanya menggunakan hutang) seperti berikut ini :

rs = Rf + β (Rm – Rf) ……… (4)

β dalam hal ini adalah beta saham atau risiko sistematis saham (karena dihitung melalui saham yang listing di bursa) yang dihitung melalui regresi model pasar (market model), atau menggunakan formula β = Kovarians return pasar dengan return saham / Varians pasar. Model pasar bisa dituliskan sebagai berikut ini :

Ri = αi + βi (Rm) + ei ……… (5)

βi yang diperoleh merupakan risiko sistematis saham i. Perhatikan bahwa perusahaan biasanya menggunakan hutang sehingga βi tersebut merupakan beta yang mengandung unsur hutang. Padahal kita menginginkan beta 100% saham untuk menghitung biaya modal saham. Kita bisa melakukan penyesuaian dengan ‘menghilangkan’ pengaruh beta hutang sebagai berikut ini. Beta perusahaan dengan saham 100% (beta aset) bisa dianggap terdiri dari beta hutang dan beta saham. Beta aset tersebut merupakan beta rata-rata tertimbang dari setiap beta individualnya, seperti berikut ini :

βASET = (B / (B + S)) βHUTANG + (S / (B + S)) βSAHAM ……… (6)

βHUTANG biasanya sangat kecil, sehingga bisa dianggap nol. Karena itu persamaan di atas bisa dituliskan sebagai berikut ini.

βASET = (S / (B + S)) βSAHAM

Dengan melakukan beberapa manipulasi, beta saham bisa dihitung sebagai berikut ini :

βSAHAM = βASET (1 + (hutang / Saham)) ……… (7)

3.2     Dengan Pajak
Dalam dunia dengan pajak, kita bisa menggunakan formula Modigliani-Miller sebagai berikut ini untuk menurunkan beta aset (beta perusahaan dengan 100% saham) :

VL = VU + tc . B = B + S ……… (8)

Persamaan di atas mengatakan bahwa nilai perusahaan dengan hutang sama dengan nilai perusahaan tanpa hutang ditambah dengan PV penghematan pajak. Term yang paling kanan mengatakan bahwa nilai perusahaan dengan hutang sama dengan nilai hutang ditambah nilai saham. Persamaan (6) menunjukkan bahwa beta aset merupakan rata-rata tertimbang dari beta sumber dana individual. Karena B + S = VL dan VL = VU + tc.B, maka beta aset bisa dituliskan berikut ini :

βASET = (B / VL) βHUTANG + (S / VL) βSAHAM ……… (9)
atau
βASET = (VU / VL) βU + ((tc.B) / VL) βHUTANG ……… (10)

dimana βU adalah beta untuk perusahaan unlevered (tidak menggunakan hutang).
Dengan menyamakan (9) dan (10), maka:

(B / VL) βHUTANG + (S / VL) βSAHAM = (VU / VL) βU + ((tc.B) / VL) βHUTANG
(S / VL) βSAHAM = (VU / VL) βU + βHUTANG [ ((tc.B) – B) / VL ]
βSAHAM = (VL / S) (VU / VL) βU + βHUTANG [ ((VL.tc.B) – VL.B) / (VL.S) ]
βSAHAM = (VU / S) βU + βHUTANG [ ((tc.B) – B) / S ]

Persamaan MM untuk nilai perusahaan dengan hutang adalah VL = VU + t.B. Dengan kata lain, VU = VL – t.B. Karena VL = B + S, maka kita juga bisa menuliskan sebagai berikut: VU = B + S – t.B. Dengan demikian persamaan di atas bisa dituliskan kembali sebagai berikut ini: 
βSAHAM = ((B + S – t.B) / S) βU + βHUTANG [((tc.B) – B) / S]
βSAHAM = βU.B + βU.S – βU.t.B + βHUTANG.t.B – βB.B
S
            Persamaan di atas bisa disederhanakan menjadi berikut ini :

βSAHAM = βU + βU (B / S) – βU (t.B / S) + βHUTANG (t.B / S) – βB (B / S)
βSAHAM = βU + [ βU – βU.t + βHUTANG.t – βB ] (B / S)
βSAHAM = βU + [ (1 – t) (βU – βB) (B / S) ] ……… (11)

Beberapa implikasi bisa dilihat dari persamaan di atas. Pada perusahaan dengan hutang, (B / S) adalah positif. Karena itu term (1 – t) (B / S) akan bernilai positif. Dengan demikian beta saham perusahaan yang menggunakan hutang lebih besar dibandingkan dengan beta saham 100%. Hasil semacam itu masuk akal karena hutang meningkatkan risiko perusahaan. Tetapi peningkatan beta tersebut tidak setajam pada situasi tanpa pajak.



Senin, 01 Januari 2018

BAB 13
KEPUTUSAN STRUKTUR MODAL
Konsep Leverage Arti leverage secara harfiah (literal) adalah pengungkit. Pengungkit biasanya digunakan untuk membantu mengangkat beban yang berat. Dalam keuangan, leverage juga mempunyai maksud yang serupa. Lebih spesifik lagi, leverage bisa digunakan untuk meningkatkan tingkat keuntungan yang diharapkan.
1.1. Operating Leverage
Operating leverage bisa diartikan sebagai seberapa besar perusahaan menggunakan beban tetap operasional. Beban tetap operasional biasanya berasal dari biaya depresiasi, biaya produksi dan pemasaran yang bersifat tetap (misal gaji bulanan karyawan). Sebagai kebalikannya adalah beban (biaya) variabel operasional. Komposisi biaya tetap/variabel yang berbeda mempunyai implikasi yang berbeda terhadap risiko dan keuntungan yang diharapkan oleh perusahaan. Komposisi biaya tetap/variabel yang berbeda mempunyai implikasi yang berbeda terhadap risiko dan keuntungan yang diharapkan oleh perusahaan.
Perusahaan yang menggunakan biaya tetap dalam proporsi yang tinggi (relatif terhadap biaya variabel) dikatakan menggunakan operating leverage yang tinggi. Dengan kata lain, degree of operating leverage (DOL) untuk perusahaan tersebut tinggi. Perubahan penjualan yang kecil akan mengakibatkan perubahan pendapatan yang tinggi (lebih sensitif). Jika perusahaan mempunyai degree of operating leverage (DOL) yang tinggi, tingkat penjualan yang tinggi akan menghasilkan pendapatan yang tinggi. Tetapi sebaliknya, jika tingkat penjualan turun secara signifikan, perusahaan tersebut akan mengalami kerugian. Dengan demikian DOL seperti pisau dengan dua mata: bisa membawa manfaat, sebaliknya bisa merugikan.
Derajat leverage operasi (Degree of Operating Leverage) bisa diartikan sebagai efek perubahan penjualan terhadap pendapatan (profit). Secara formal, degree of operating leverage (DOL) bisa dituliskan sebagai berikut ini. Persentase perubahan laba (profit)
DOL = -----------------------------------------------Persentase perubahan unit yang terjual DOL = Δ Profit / Profit ----------------ΔQ / Q ... ... ... (1)
Profit bisa ditulis sebagai berikut:
Profit = P = (c.Q) – F
dimana
c = marjin kontribusi = (P – V)
P = harga produk per-unit
V = biaya variabel per-unit
Q = jumlah unit produk yang terjual
F = biaya tetap DOL = (ΔP / P) / (ΔQ / Q) = (Δ (cQ – F) ) / (cQ – F) / (ΔQ / Q) = (cΔQ – ΔF) ) / (cQ – F) / (ΔQ / Q) karena ΔF = 0, (biaya tetap), maka: = (cΔQ.Q) / (cQ – F) ΔQ = c.Q / (cQ – F)
1.2. Leverage Keuangan (Financial Leverage)
Leverage keuangan bisa diartikan sebagai besarnya beban tetap keuangan (finansial) yang digunakan oleh perusahaan. Beban tetap keuangan tersebut biasanya berasal dari pembayaran bunga untuk hutang yang digunakan oleh perusahaan. Karena itu pembicaraan leverage keuangan berkaitan dengan struktur modal perusahaan. Perusahaan yang menggunakan beban tetap (bunga) yang tinggi berarti menggunakan hutang yang tinggi. Perusahaan tersebut dikatakan mempunyai leverage keuangan yang tinggi, yang berarti degree of financial leverage (DFL) untuk perusahaan tersebut juga tinggi.
Degree of financial leverage mempunyai implikasi terhadap earning per-share perusahaan. Untuk perusahaan yang mempunyai DFL yang tinggi, perubahan EBIT (Earning Before Interest and Taxes) akan menyebabkan perubahan EPS yang tinggi. Sama seperti degree of operating leverage (DOL), DFL seperti pisau bermata dua: jika EBIT meningkat, EPS akan meningkat secara signifikan, sebaliknya, jika EBIT turun, EPS juga akan turun secara signifikan.
Derajat leverage keuangan (Degree of Financial Leverage) bisa diartikan sebagai efek perubahan EBIT terhadap pendapatan (profit). Secara formal, degree of financial leverage (DFL) bisa dituliskan sebagai berikut.
Persentase perubahan laba bersih setelah pajak DFL = --------------------------------------------------------Persentase perubahan EBIT ... ... ... (2) Persamaan di atas bisa diringkaskan sebagai berikut ini. Laba setelah pajak = (EBIT – Bunga) (1 – Tc), Tambahan laba setelah pajak = Δ(EBIT – Bunga) (1 – Tc) = (ΔEBIT – Δbunga) ( 1 – Tc) Karena Δbunga = 0, maka bisa ditulis kembali menjadi (ΔEBIT) (1 – Tc)
Dengan demikian DFK bisa ditulis kembali menjadi: (ΔEBIT) (1 – Tc) / (EBIT – Bunga) (1 – Tc) DFL = ------------------------------------------------------ΔEBIT / EBIT DFL = EBIT / (EBIT – Bunga) Semakin tinggi hutang yang dipakai, semakin tinggi Degree of financial leverage. Penggunaan leverage keuangan yang besar mempunyai implikasi yang sama dengan penggunaan leverage operasi yang besar, yaitu meningkatkan ‘leverage’. Dengan menggunakan leverage yang tinggi, perubahan EBIT yang sedikit akan meningkatkan EAT lebih besar.
1.3. Kombinasi Leverage Operasi dengan Leverage Keuangan
Leverage operasi berkaitan dengan efek perubahan penjualan terhadap EBIT (laba sebelum bunga dan pajak). Sementara leverage keuangan berkaitan dengan efek perubahan EBIT terhadap EAT (laba setelah pajak). Perusahaan bisa mengkombinasikan keduanya untuk memperoleh leverage gabungan.
Derajat leverage gabungan (DCL atau Degree of Combined Leverage) bisa dihitung sebagai berikut ini. % perubahan EBIT % perubahan laba bersih DCL = (------------------------) × (------------------------------) % perubahan penj % perubahan EBIT ... ... ... (3) ( % perubahan laba bersih ) = --------------------------------------( % perubahan penjualan ) DCL = DOL × DFL = { [ c.Q / (cQ – F) ] × [ EBIT / (EBIT – Bunga) ] } = { [ c.Q / (cQ – F) ] × [ (cQ – F) / ( (cQ – F) – Bunga) ] } = c.Q / (c.Q – F – Bunga)
2. Pendekatan EBIT – EPS
Kita bisa menghitung titik EBIT ‘break-even’ dimana alternatif saham baru akan menghasilkan EPS yang sama dengan alternatif hutang. Berikut ini formula untuk perhitungan tersebut. (EBIT* – B1) (1 – Tc) – Dp1 ---------------------------------N1 EBIT* – B2) (1 – Tc) – Dp2 = --------------------------------N2 ... ... ... (4) dimana B1, B1 = EBIT*= EBIT break-even Bunga yang dibayarkan untuk alternatif 1, dan 2 Tc = Dp1, Dp1 = Tingkat pajak Dividen saham preferen untuk alternatif 1 dan 2
Pendekatan EBIT-EPS dalam struktur modal bermanfaat bagi manajer keuangan, meski ada beberapa keterbatasan. Pertama, metode tersebut tidak membicarakan pengaruh struktur modal terhadap nilai perusahaan. Kedua, pendekatan tersebut tidak memperhitungkan biaya hutang yang bersifat implisit. Tetapi analisis tersebut bisa memberi gambaran seberapa besar EBIT yang harus diperoleh jika manajer keuangan ingin memperoleh EPS tertentu. Contoh, manajer keuangan bisa menghitung EBIT* (yang menyamakan EPS hutang dengan EPS saham), kemudian manajer keuangan bisa memperkirakan probabilitas memperoleh EBIT di atas EBIT*. Jika probabilitasnya tinggi, maka penggunaan hutang bisa disarankan. Sebaliknya, jika probabilitasnya kecil, manajer keuangan barangkali akan lebih baik menggunakan saham.
3. Rasio Coverage
Rasio coverage ingin melihat seberapa jauh kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban yang bersifat tetap. Semakin tinggi angka tersebut, semakin tinggi (aman) kemampuan perusahaan bisa memenuhi kewajibannya. Rasio coverage bisa dihitung sebagai berikut ini. EBIT Times Interest Earned = --------------------Bunga Hutang Formula di atas hanya memasukkan pembayaran bunga, padahal perusahaan, dalam beberapa situasi, harus juga membayar cicilan pembayaran. Alternatif lain untuk menghitung rasio coverage adalah dengan memasukkan cicilan pembayaran hutang.
Rasio debt-service coverage dipakai untuk menghitung kewajiban tersebut. EBIT Debt-service coverage = ----------------------------------------------Bunga + (Cicilan Hutang / (1 – Pajak)) Cicilan hutang disesuaikan karena cicilan hutang tidak bisa dipakai sebagai pengurang pajak. Disamping beban tetap dari bunga, perusahaan bisa memperoleh beban tetap lainnya. Leasing (sewa) merupakan contoh beban tetap bukan bunga. Beban tetap leasing mempunyai kewajiban yang sama dengan beban tetap hutang. Karena itu, leasing seharusnya juga dimasukkan ke dalam persamaan-persamaan di atas.
Rasio fixed charge coverage (FCC) memasukkan sewa, sebagai berikut ini. EBIT + Pembayaran Sewa FCC = ----------------------------------------------------------------Bunga + Pembayaran Sewa + Pembayaran Cicilan Hutang / (1 – pajak) Manajer keuangan bisa menggunakan rasio-rasio tersebut pada menghitung target struktur modal. Lebih spesifik, jika perusahaan mempunyai target rasio coverage tertentu, atau pihak perbankan (kreditor) menetapkan rasio coverage tertentu, maka penggunaan hutang harus dianalisis efeknya terhadap rasio tersebut.
4. Pendekatan Biaya Modal
Manajer keuangan bisa menggunakan pendekatan biaya modal untuk menghitung struktur modal yang optimal, yaitu yang bisa memaksimumkan nilai perusahaan.
5. Perbandingan dengan Struktur Modal Industri/Perusahaan Lain
Metode lain untuk menentukan struktur modal adalah dengan mengikuti struktur modal industri (perusahaan yang sejenis, yang kemudian dirata-rata) atau perusahaan lain (satu atau dua) yang mempunyai risiko bisnis yang sama.
Jika perusahaan mempunyai struktur modal yang terlalu menyimpang dari rata-rata industri, maka pasar (pihak luar) akan langsung mempertanyakan penyebabnya. Penyimpangan tersebut tidak harus berarti jelek. Jika kebanyakan perusahaan menggunakan struktur modal yang konservatif, maka rata-rata industri untuk struktur modal akan terlihat lebih kecil. Meskipun kemungkinan rasio hutang yang optimal bisa lebih tinggi dari rata-rata industri. Karena itu manajer keuangan harus menyiapkan argumen yang kuat dan meyakinkan jika ingin menggunakan struktur modal yang menyimpang signifikan dari rata-rata industri.
6. Standar dari Pihak Luar
Pihak luar (biasanya pemberi pinjaman) akan menetapkan standar tertentu dalam struktur modal. Jika perusahaan ingin meminjam, maka perusahaan tersebut harus mengikuti standar yang telah ditetapkan oleh pemberi pinjaman. Pada situasi lain, jika perusahaan ingin menerbitkan obligasi (surat hutang), biasanya perusahaan tersebut akan dirating oleh perusahaan perating (contoh: Pefindo (Indonesia), Moody’s, Standard and Poor’s (Amerika Serikat)). Rating tersebut didasarkan atas beberapa faktor, diantaranya faktor struktur modal (hutang).
Rasio coverage biasanya sering digunakan oleh pemberi pinjaman dan lembaga rating untuk menilai risiko kebangkrutan. Dua rasio yang sering digunakan dalam analisis coverage adalah Times Interest Earned (TIE) dan Fixed Charge Coverage (FCC). Semakin tinggi angka tersebut, semakin aman dari risiko kegagalan membayar kewajiban. Rasio FCC memasukkan semua kewajiban pembayaran, yaitu bunga, sewa, dan cicilan pembayaran hutang (pokok pinjaman). Rasio TIE tidak memasukkan dua komponen terakhir.
7. Analisis Aliran Kas
Manajer keuangan bisa menganalisis aliran kas, menggunakan semacam simulasi atau skenario untuk memperkirakan kemampuan membayar pada situasi yang jelek (misal resesi). Setelah mengetahui kemampuan menghasilkan kas pada situasi baik dan jelek, bisa diputuskan tingkat hutang yang optimal.
8. Kombinasi Manajer keuangan tidak harus menggunakan hanya satu metode analisis dalam penentuan struktur modal. Manajer keuangan bisa menggabungkan metodemetode yang telah disebutkan di muka, untuk memperoleh gambaran yang lebih baik dan menyeluruh terhadap struktur modal tersebut.
9. Pertimbangan Lainnya Beberapa hal lainnya yang bisa dipakai sebagai pertimbangan dalam menentukan struktur modal. Berikut ini beberapa faktor tersebut.
1.  Stabilitas Penjualan. Perusahaan yang mempunyai penjualan yang stabil, bisa menggunakan hutang yang semakin tinggi. Semakin stabil penjualan suatu perusahaan, semakin mampu perusahaan tersebut menutup kewajiaban-kewajibannya.
2. Tingkat pertumbuhan penjualan. Perusahaan yang mempunyai tingkat penjualan yang tinggi akan lebih menguntungkan jika memakai hutang.
3. Struktur Aset. Perusahaan yang mempunyai aktiva tetap yang lebih besar (yang berusia panjang), apalagi jika digabung dengan tingkat permintaan produk yang stabil, akan menggunakan hutang yang lebih besar.
4. Sikap Manajemen. Manajemen yang konservatif akan menggunakan hutang yang lebih sedikit, dan sebaliknya. Pemegang saham yang ingin menjaga kendali atas perusahaanya akan menggunakan hutang yang lebih banyak. Sebaliknya, jika perusahaan tidak berkepentingan terhadap kendali perusahaan, akan cenderung menerbitkan saham baru.

Senin, 18 Desember 2017

BAB 12 TEORI STRUKTUR MODAL


BAB 12
TEORI STRUKTUR MODAL

1.      Pendekatan Tradisional
Pendekatan tradisional berpendapat akan adanya struktur modal yang optimal. Dengan kata lain struktur modal mempunyai pengaruh terhadap nilai perusahaan. Struktur modal bisa dirubah-rubah agar bisa diperoleh nilai perusahaan yang optimal.

2.      Pendekatan Modigliani dan Miller (MM)
Pada tahun 1950-an, dua orang ekonom menentang pandangan tradisional struktur modal. Mereka berpendapat bahwa struktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Kemudian pada awal tahun 1960-an, kedua ekonom tersebut memasukkan faktor pajak kedalam analisis mereka. Mereka sampai pada kesimpulan bahwa nilai perusahaan dengan hutang lebih tinggi dibandingkan nilai perusahaan tanpa hutang. Kenaikan nilai tersebut dikarenakan adanya penghematan pajak dari penggunaan hutang.

a.    Proposisi MM Tanpa
Pajak MM mengajukan beberapa asumsi untuk membangun teori mereka:
1.   Tidak ada pajak
2.   Tidak ada biaya transaksi
3.   Individu dan perusahaan meminjam pada tingkat yang sama. Dengan asumsi-asumsi tersebut, MM mengajukan dua proposisi yang dikenal sebagai proposisi MM tanpa pajak.

b.   Proposisi 1 (Tanpa Pajak)
Nilai perusahaan yang menggunakan hutang akan sama dengan nilai perusahaan yang tidak menggunakan hutang sebagai berikut ini.
VL = V
U dimana ……… (1) VL = Nilai untuk perusahaan yang menggunakan hutang (valuefor leveraged companies)
 VU = Nilai untuk perusahaan yang tidak menggunakan hutang (100% saham, atauvalue for unlevered companies)
Dengan kata lain, dalam kondisi tanpa pajak, Modigliani dan Miller berpendapat bahwa struktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Tingkat keuntungan dan risiko usaha (keputusan investasi) yang akan mempengaruhi nilai perusahaan (bukannya keputusan pendanaan).

c.    Proposisi 2 (Tanpa Pajak)
Proposisi 2 mengatakan bahwa tingkat keuntungan yang disyaratkan untuk perusahaan yang menggunakan hutang, naik proporsional terhadap peningkatan rasio hutang dengan saham.
ks = ko + B / S (ko – kb)
dimana :
ks  = tingkat keuntungan yang disyaratkan untuk saham
ko = tingkat keuntungan yang disyaratkan untuk saham perusahaan tanpa hutang
B/S = rasio hutang dengan saham
kb = tingkat keuntungan yang disyaratkan untuk hutang (tingkat bunga)

Dengan menggunakan hutang yang semakin banyak, perusahaan bisa menggunakan sumber modal yang lebih murah yang semakin besar. Penggunaan sumber modal yang murah yang semakin banyak akan menurunkan biaya modal rata-rata tertimbang perusahaan (WACC) tersebut, jika tingkat keuntungan yang disyaratkan untuk saham (ks) konstan. Tetapi dengan semakin meningkatnya hutang, tingkat keuntungan yang disyaratkan untuk saham (ks) juga akan meningkat. Dua efek yang saling berlawan tersebut menghasilkan biaya modal rata-rata tertimbang yang konstan. Hasilnya, nilai perusahaan akan konstan.

d.   Proposisi MM dengan Pajak
Hutang Pajak Saham
(a) Saham Hutang Pajak Dibayarkan ke Pemerintah
(b) Terlihat bahwa roti tersebut dibagi ke dalam tiga bagian: saham, hutang, dan pajak. Pajak dibayarkan kepada pemerintah, yang berarti merupakan aliran kas keluar. Hutang bisa digunakan untuk menghemat pajak, karena
Gambar (a) dimana hutang yang digunakan lebih sedikit, pajak yang dibayarkan menjadi lebih besar. Karena aliran kas yang keluar (melalui pajak) semakin besar, roti yang tersisa menjadi semakin kecil.
Gambar (b) menunjukkan penggunaan hutang yang semakin besar. Pajak yang dibayarkan semakin kecil, yang berarti perusahaan bisa menghemat aliran kas keluar. Roti yang tersisa pada gambar (b) nampak lebih besar dibandingkan dengan roti yang tersisa pada (a). Ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa dengan memperhitungkan pajak, struktur modal bisa mempengaruhi nilai perusahaan.

e.       Proposisi 1 (dengan Pajak)
Nilai perusahaan dengan hutang akan sama dengan nilai perusahaan tanpa hutang plus penghematan pajak karena bunga hutang. Formula untuk pernyataan tersebut:

VL = VU + Tc B
= EBIT (1-Tc) + Tc.kb.B
Ko               kb
Dimana :
Tc = tingkat pajak (perusahaan)
 B = besarnya hutang
Ks =tingkat keuntungan yang disyaratkan untuk saham
kb = tingkat keuntungan hutang (tingkat bunga)
Ko = tingkat keuntungan yang disyaratkan untuk saham perusahaan tanpa hutang
EBIT = Earning Before Interest and Taxes (Pendapatan sebelum pajak dan bunga)

Nilai perusahaan tanpa hutang merupakan present value dari tingkat keuntungan EBIT (Earning Before Interest and Taxes), didiskontokan dengan biaya modal saham tanpa hutang (ko). Penghematan bunga didiskontokan dengan biaya modal hutang (kb). Perbedaan diskonto tersebut disebabkan karena risiko yang berbeda antara EBIT (aliran kas untuk pemegang saham) dengan bunga (aliran kas untuk pemegang hutang).

f.       Proposisi 2 (dengan Pajak)
Proposisi 2 (dengan pajak) mengatakan bahwa biaya modal saham akan meningkat dengan semakin meningkatnya hutang. Tetapi penghematan dari pajak akan lebih besar dibandingkan dengan penurunan nilai karena kenaikan biaya modal saham. Pernyataan tersebut bisa dituliskan:

ks = ko + B / S (1 – Tc) (ko – kb) ……… (4)

Formula tersebut mempunyai implikasi bahwa penggunaan hutang yang semakin banyak akan meningkatkan biaya modal saham. Tetapi penggunaan hutang yang lebih banyak, berarti menggunakan modal yang lebih murah (biaya modal hutang lebih kecil dibandingkan biaya modal saham), akan menurunkan biaya modal rata-rata tertimbang (meskibiaya modal sahamnya meningkat).
Teori MM tersebut sangat kontroversial. Implikasi teori tersebut adalah perusahaan sebaiknya menggunakan hutang sebanyak-banyaknya (99%, sebagai contoh). Tetapi dalam kenyataan, tidak ada perusahaan yang mempunyai hutang sebesar tersebut.

3.      Teori Trade-Off dalam Struktur Modal
Dalam kenyataan, ada hal-hal yang membuat perusahaan tidak bisa menggunakan hutang sebanyak-banyaknya. Satu hal yang terpenting adalah dengan semakin tingginya hutang, akan semakin tinggi kemungkinan (probabilitas) kebangkrutan.
Biaya kebangkrutan tersebut bisa cukup signifikan. Penelitian di luar negeri menunjukkan biaya kebangkrutan bisa mencapai sekitar 20% dari nilai perusahaan. Biaya tersebut mencakup dua hal:

1.    Biaya langsung: biaya yang dikeluarkan untuk membayar biaya administrasi, biaya pengacara, biaya akuntan, dan biaya lainnya yang sejenis.
2.  Biaya tidak langsung: biaya yang terjadi karena dalam kondisi kebangkrutan, perusahaan lain atau pihak lain tidak mau berhubungan dengan perusahaan secara normal. Misal, supplier barangkali tidak akan mau memasok barang karena mengkhawatirkan kemungkinan tidak terbayar.

Biaya lain dari peningkatan hutang adalah meningkatnya biaya keagenan hutang (agency cost of debt). Jika hutang meningkat, maka konflik antara pemegang hutang dengan pemegang saham akan meningkat, karena potensi kerugian yang dialami oleh pemegang hutang akan meningkat. Dalam situasi tersebut, pemegang hutang akan semakin meningkatkan pengawasan (monitoring) terhadap perusahaan. Pengawasan bisa dilakukan dalam bentuk biaya-biaya monitoring (persyaratan yang lebih ketat, menambah jumlah akuntan, dsb) dan bisa juga dalam bentuk kenaikan tingkat bunga. Dengan memasukkan biaya keagenan, persamaan nilai perusahaan di atas bisa diperluas sebagai berikut ini.

VL = VU + PV Penghematan Pajak – [PV Biaya Kebangkrutan + PV Biaya Keagenan]

Dengan demikian gabungan antara teori struktur modal Modigiliani-Miller dengan memasukkan biaya kebangkrutan dan biaya keagenan mengindikasikan adanya trade-off antara penghematan pajak dari hutang dengan biaya kebangkrutan. Teori tersebut kemudian dikenal sebagai teori trade-off struktur modal, atau static trade-off capital structure theory. Tetapi teori tersebut tidak memberikan formula yang pasti yang bisa memberi petunjuk berapa tingkat hutang yang optimal.

4.      Model Miller dengan Pajak Perusahaan dan Personal
Modigliani dan Miller mengembangkan model struktur modal tanpa pajak, dan dengan pajak. Nilai perusahaan dengan pajak lebih tinggi dibandingkan dengan nilai perusahaan tanpa pajak. Selisih tersebut diperoleh melalui penghematan pajak karena bunga bisa dipakai untuk mengurangi pajak. Penghematan pajak tersebut bisa dihitung sebagai berikut ini.
Penghematan pajak = VL - VU = tc . B

Miller sendiri kemudian mengembangkan model struktur modal dengan memasukkan pajak personal. Pemegang saham dan pemegang hutang harus membayar pajak jika mereka menerima dividen (untuk pemegang saham) atau bunga (untuk pemegang hutang).
Menurut Miller, nilai perusahaan yang menggunakan hutang, setelah memasukkan pajak personal adalah sebagai berikut ini.

(1 – Tc) (1 – ts)
VL = VU + { 1 – [ --------------------- ] } B
       (1 – tb)

Dimana :
VL = Nilai perusahaan dengan hutang
VU = Nilai perusahaan tanpa hutang
Tc = tingkat pajak perusahaan
ts = tingkat pajak pemegang saham (atas dividen dan capital gain)
tb = tingkat pajak untuk pemegang hutang (atas bunga)
B = Hutang

       Menurut model tersebut, tujuan yang ingin dicapai adalah, tidak hanya meminimalkan pajak perusahaan, tetapi meminimalkan total pajak yang harus dibayarkan (pajak perusahaan, pajak atas pemegang saham, dan pajak atas pemegang hutang). Melihat persamaan di atas mempunyai beberapa implikasi. Jika (1 – tb) = (1 – Tc) (1 – ts),
maka persamaan di atas menjadi,

VL = VU + (1 – 1) B = VU

Dengan kata lain, pada kondisi tersebut, nilai perusahaan dengan hutang sama dengan nilai perusahaan tanpa hutang. Tidak ada penghematan pajak atas bunga hutang.
Pada situasi lain, dimana menjadi. VL = VU + ts = tb, persamaan di atas Tc . B Persamaan tersebut menunjukkan bahwa nilai perusahaan dengan hutang sama dengan nilai perusahaan tanpa hutang ditambah penghematan pajak karena bunga hutang. Persamaan tersebut sama dengan argumen MM dengan pajak. Dua situasi di atas merupakan situasi ekstrim. Pada situasi kebanyakan, nilai VL akan berada diantara nilai VU dan nilai VU + Tc.B.

5.      Pecking Order Theory
Teori trade-off mempunyai implikasi bahwa manajer akan berfikir dalam kerangka trade-off antara pengehamatan pajak dan biaya kebangkrutan dalam penentuan struktur modal. Dalam kenyataan empiris, nampaknya jarang manajer keuangan yang berfikir demikian. Seorang akademisi, Donald Donaldson (1961) melakukan pengamatan terhadap perilaku struktur modal perusahaan di Amerika Serikat. Pengamatannya menunjukkan bahwa perusahaan yang mempunyai keuntungan yang tinggi ternyata cenderung menggunakan hutang yang lebih rendah.
Secara spesifik, perusahaan mempunyai urut-urutan preferensi dalam penggunaan dana. Skenario urutan dalam Pecking Order Theory adalah sebagai berikut ini :

1.      Perusahaan memilih pendanaan internal. Dana internal tersebut diperoleh dari laba (keuntungan) yang dihasilkan dari kegiatan perusahaan.
2.      2.Perusahaan menghitung target rasio pembayaran didasarkan pada perkiraan kesempatan investasi.

3.      3.Karena kebijakan dividen yang konstan (sticky), digabung dengan fluktuasi keuntungan dan kesempatan investasi yang tidak bisa diprediksi, akan menyebabkan aliran kas yang diterima oleh perusahaan akan lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran investasi pada saat-saat tertentu, dan akan lebih kecil pada saat yang lain.

BAB 14 ANALISIS INVESTASI LANJUTAN : PENDEKATAN ADJUSTED PRESENT VALUE

BAB 14 ANALISIS INVESTASI LANJUTAN : PENDEKATAN ADJUSTED PRESENT VALUE 1.          METODE ADJUSTED PRESENT VALUE (APV) 1.1      ...